Cerita Bersambung 3

Trisha memejamkan mata sejenak. “Tapi aku baik-baik saja,” katanya. Aku Cuma perlu menenangkan diri dan tidak panik. Kali ini suaranya menumbuhkan keyakinannya sedikit dan ia merasa agak lebih baik. Ia berbalik meletakkan kakinya pada kedua sisi ceruk hitam tempat ia tadi berbaring, dan menempelkan pantatnya ke batang pohon yang berlumut.

Nyamuk-nyamuk kecil sekarang menemukan dirinya, begitu banyak yang berdengung-dengung di sekitar kepalanya hingga pandangannnya dipenuhi oleh bintik hitam yang menari-nari. Ia melambai mengusir mereka tapi tidak menamparnya.

Kakinya tersandung batu yang menonjol keluar dari tanah yang tertutup humus itu. Ia terhuyung-huyung, melambaikan lengan yang tidak memegangi ransel untuk mempertahankan keseimbangan, lalu terempas miring. Rasa sakit menyodok dari punggung bawahnya, yang tadi terhantam tunggul cabang.

Cabang-cabang pohon berderak ditiup angina sepoi-sepoi. Tidak ada satu suarapun.

Sekarang air mata mulai mengucur dan ia tidak lagi bisa menahannya, tidak lagi bisa menipu diri bahwa ia masih mengendalikan situasinya. Suaranya gemetar, mula-mula bagai suara bocah kecil, lalu hamper mirip jeritan bayi yang tergeletak dilupakan di tempat tidurnya. Dan suara itu lebih menakutkan baginya daripada apa pun yang ditemuinya pada pagi yang mengerikan ini, satu-satunya suara manusia dalam hutan ini adalah tangisan-nya, jeritannya meminta pertolongan, meminta bantuan, karena ia telah tersesat.Ia kembali duduk di karpet jarum pada sekelompok pinus tua. Dan menangis lagi.

Ia membunuh tiga ekor di antaranya. Dua ekor telah kenyang hingga hamper meledak.

Air matanya mongering lebih cepat kali ini, dan isakannya tidak sekeras tadi. Ia merasa sudah agak tenang. Tidak sepenuhnya tapi cukup.